Let’s be better

Doa Belajar dari Sang Kyai


Betapapun banyak usaha yang kau lakukan, rencana matang nan dalam yang kau susun. Pasti selalu ada ruang nan ketidakpastian, selalu ada wilayah takdir dan kehendak-Nya. Biarkanlah Allah mengatur ketidakpastian itu, kita hanya bisa memohon berucap menyusun doa-doa untuk ruang ketidakpastian tersebut.
Doa pernah membawa seorang pemuda 21 tahun dan pasukannya menaklukan Konstantinopel sebagai salah satu pusat dunia kala itu. Dalam perang Badar, Rasulullah SAW memimpin 313 pasukan untuk melawan 1000 pasukan kaum Quraisy, sungguh perbandingan yang tidak seimbang. Namun lagi-lagi doa berperan besar di sini, kemenangan menghampiri kaum Muslim. Doa merasuk ke setiap hati dan jiwa pasukan kaum Muslim, setiap satu langkah yang diayunkan, membuka sepuluh pintu keberhasilan.
Benarlah doa adalah senjata terampuh. Saat kita berdoa, maka meruntuhkan keangkuhan, mengakui segala ketidakberdayaan di hadapan Nya, sekaligus meminjam Tangan Ke Maha Perkasaan Allah, agar menyatu dengan kekuatan usaha yang kita miliki
Berusaha tanpa doa adalah sombong dan berdoa tanpa berusaha adalah bodoh. Bagaimana bisa kita dapat meraih sesuatu tanpa bantuan Allah, it’s impossible thing to do. Hakikatnya semua daya adalah milik Allah. Keberhasilan-keberhasilan yang kita raih semua tidak luput oleh bantuan Allah. Karena Allah lah semua keberhasilan terjadi. Doa merupakan bentuk penyerahan diri kita yang tidak berdaya ini untuk diserahkan kepada yang Maha Memiliki Seluruh Daya.
Pernah suatu hari aku diajarkan oleh seorang kyai di mushollaku mengenai doa belajar. Kala itu merupakan bulan-bulan awal masuk kuliah. Rumah yang terlampau jauh dari kampus meskipun satu kota membuatku harus tinggal mengontrak di daerah dekat kampus. Aku pulang rumah hanya ketika akhir minggu.
Memasuki hari Sabtu aku segera lekas pulang untuk bertemu keluargaku di rumah. Pulang rumah memang hal yang selalu menyenangkan dari dulu sampai sekarang. Terlebih kala itu aku adalah mahasiswa baru yang notabene belum pernah tinggal di perantauan sebelumnya.
Adzan berkumandang mengisyaratkan suatu panggilan kemenangan. Aku bergegas mengambil air wudhu dan menuju ke musholla. Sebelum sholat dimulai aku diajak mengobrol oleh Kyai di Mushollaku tersebut. Namanya Mbah Solikin, bersahaja dan ramah terhadapku.
“Loh sampeyan kok mboten nate ketok ten pundi, nopo kerjo?” Loh kamu kok ndak pernah keliatan dimana, apa kerja? Tanya Mbah Solikin kepadaku.
“Oh sak niki kulo kuliah mbah ten Undip. Niki kulo ngontrak ten Tembalang.” Oh sekarang saya kuliah mbah di Undip. Saya juga ngontrak di Tembalang, jawabku menanggapi pertanyaannya.
Percakapan tersebut dilanjutkan dengan beberapa obrolan yang intinya ingin tahu bagaimana aku sekarang.
“Mas, tak paringi dungo damel sinau purun mboten?” Mas, saya kasih doa untuk belajar mau tidak? Kata Mbah Solikin menawariku mengajarkan doa belajar.
Tanpa berpikir panjang aku langsung mengiyani tawaran dari Mbah Solikin tersebut.
“Nggeh mbah purun.” Iya Mbah mau.
“Tapi mangkeh nggeh Ba’da sholat.” Tapi nanti ya setelah sholat.
“Nggeh Mbah.” Iya Mbah.
Sholat pun dimulai. Setelah selesai sholat aku menungguinya untuk mendapatkan doa tersebut. Mbah Solikin mempunyai kebiasaan berdoa dan berdzikir yang aku rasa cukup lama ketimbang orang-orang lain yang sholat di mushollaku. Aku menungguinya, aku mengambil kertas dan bolpen untuk mencatatnya.
Seusai sholat sunah rawatib ba’diyah Mbah Solikin menghampiriku dan mendiktekan doa belajar yang beliau maksud.
“Allahumma akhrijna mindzulumatil wahmi waakrimnaa binuuril fahmi waftah ‘alaina bima’rifatil ilmi wa sahhilanaa abwaaba fadhlika birahmatika yaa arhamarrahimin.”
Beliau juga mengajarkan artinya kepadaku, yang tentunya dalam bahasa jawa juga, namun kurang lebih dalam bahasa Indonesia berarti seperti ini.
“Yaa Allah, keluarkanlah kami dari kegelapan prasangka, muliakanlah kami dari cahaya kepahaman, bukalah pengertian ilmu kepada kami dan bukalah untuk kami pintu-pintu anugerah-Mu, wahai Dzat yang paling penyayang.”
Sungguh doa yang bagus menurutku apabila dikerjakan setiap sebelum mata kuliah dimulai. Budayakan berdoa layaknya di Sekolah Dasar dulu, setiap sebelum memulai kegiatan belajar mengajar serentak dalam satu komando ketua kelas menggerakkan untuk berdoa. Entah kenapa di bangku kuliah tidak ada budaya semacam itu, aku heran sebenarnya. Hemat saya, bukankah dalam setiap langkah kita di dunia ini seharusnya diiringi dengan agama. Bagi yang percaya adanya Tuhan pasti merujuk agama sebagai pedoman hidup.
Biarlah lisan berucap ketidakberdayaan kita kepada-Nya. Jangan biarkan kesombongan menggerogoti dalam-dalam hati kita.

0 komentar:

Posting Komentar