Asumsi Realitas Gagal
Hari ini Kamis
28 Maret 2013, aku rasa hari ini adalah hari yang biasa saja, berjalan seperti
layaknya yang sudah-sudah . Menemui beberapa kegagalan yang sudah biasa aku
telan, dari mulai gagal wawancara dengan Bapak Rektor sampai salah mengajukan proporsal
yang seharusnya aku serahkan ke LPPU tapi malah aku sampaikan ke LP2MP.
Asumsiku realitas hidup memang ada unsur kegagalan. Namun ketika kegagalan itu
aku derivasikan menjadi beberapa turunan, aku menemukan bahwa kegagalan tidak
mutlak sebuah arti kata gagal yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
berarti tidak berhasil; tidak tercapai (maksudnya); tidak jadi. Salah satu
derivasi kegagalan ialah menemukan pelajaran yang membangun diri kita menjadi
pribadi yang handal. Dari kegagalan kita belajar bertahan untuk tidak menyerah,
belajar bangkit ketika jatuh, belajar hal yang tidak kita ketahui tanpa adanya
kegagalan tersebut. Aku gagal mewawancarai Bapak Rektor tapi aku tahu bagaimana
prosedural bertemu dengan Bapak Rektor, setidaknya juga sudah pernah melobi
Bapak Rektor yang aku rasa ramah. Jadi ke depannya aku bisa lebih cakap jika
akan meng-interview Bapak Rektor
lagi. Ajaibnya lagi sorenya aku dapat kabar panggilan untuk besok Sabtu 30
Maret 2013 diwawancarai oleh Bapak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan oleh
karena aku sebagai penerima beasiswa Bidik Misi yang berprestasi dengan ukuran
IP minimal sekian. Tak bisa mewawancarai Bapak Rektor tak apalah pikirku,
gantinya pun aku bisa bertemu dengan Mendikbud. Suatu hal yang kurasa
menyenangkan dan patut untuk disyukuri. Kegagalan menurutku bagus juga untuk
disyukuri, Alhamdulillah aku tidak kesasar menyerahkan proporsal ke
perpustakaan Undip yang notabene di samping LP2MP. Hemat saya apapun yang
terjadi sudah sepatutnya kita memandang positif atas apa yang telah terjadi
agar menjadi dasar kita untuk bersyukur pada Illahi. Allah pun telah berjanji
akan menambah nikmat hamba-Nya apabila ia bersyukur.
“Hidup itu indah, tergantung
bagaimana kita menyikapinya”
0 komentar:
Posting Komentar