Let’s be better

Ini hidupku dan aku bahagia mengarunginya




Minggu, 16 Juni 2013
M
enetralisir perasaan merupakan salah satu management project dari hidupku, shock (guncangan) yang ada menuntut kebiasaanku agar tahan dengan guncangan-guncangan. Project ini sudah sedari STM aku lakukan, banyak variabel endogen maupun eksogen yang aku utak-atik. Jika ditanya hasil dari project ini, janganlah kau tanya kawan. Pemaparan itu akan bertumbukan dengan teori relativitas.
Dalam hidup ini banyak sekali variabel yang meregresi hidupku. Sangat panjang jika diuraikan satu persatu korelasinya di sini. SKIP SKIP SKIP, itu semua bukan inti ceritanya. Mari kita putar jam kembali pukul 7 Senin lalu.
10 Juni 2013 bermodalkan vini vidi vici, datang lihat menang, Surabaya kami datang. Aku & seorang teman se-jurusanku memberanikan diri berangkat ke Surabaya mengikuti sebuah lomba karya tulis ilmiah. Bus yang kutumpangi dari Terminal Terboyo Semarang melaju riang menuju Bungurasih Surabaya.
Sepanjang perjalanan tak lepas mata ini menelusuri jalan Pantura Semarang-Surabaya. Inilah daya tarik kenapa aku memilih moda transportasi bus. Semarang Demak Kudus Pati Juana Rembang Lasem, Tuban Babat Lamongan Surabaya. Dari sini aku tahu bahwa sebenarnya Wingko Babat itu dari Kabupaten Babat, paradoks yang mengerikan ketika aku menganggap Wingko asli Semarang.
Di Surabaya aku menginap di Asrama Haji Embarkasi Surabaya, gedung yang aku inapi ini terdapat tulisan ‘Graha Bir-Ali’. Bersama 13 kelompok kontestan lain, di sinilah sementara kami tinggal. Kami di sini berpusing-pusing ria memikirkan negara, padahal belum pasti negara memikirkan kami juga. Lihat saja temanya kawan ‘Sinergitas Makroprudensial dengan Kebijakan Fiskal dan Kebijakan Moneter’, kompleks sekali tema yang kami bahas ini bagi kaum awam macam aku ini.
Bermodalkan berani, kelompokku ikut menabuh genderang perang dalam kompetisi ini. Ketimpangan angkatan tak pelak membuat nyali kami lantas ciut seketika. Kalau orang Surabaya bilang, “Bonek”, Bondo Nekat. Bukan ilmu yang kuat dan pengalaman yang luas, tapi nekatlah senjata utama kami.
                Subuh datang,  raga ini bangkit dari nyamannya ranjang tingkat calon Haji. Kaki melangkah mendekati panggilan menuju Sang Kuasa, “Sholat itu lebih baik daripada tidur,” iya benarlah engkau dan baguslah ucapanmu dan aku termasuk orang-orang yang menyaksikan kebenaran itu. Aku lupa ini di Asrama Haji, patutlah jika ramai orang untuk sholat Subuh berjamaah di Masjid. Dalam Masjid itu, hampir penuh jamaah menyesaki satu ruangan kotak ber-AC bagi makmum laki-laki. Pernah aku mendengar, sensasi hal yang dilakukan bersama itu lebih menggetarkan daripada sendirian. Hal ini pun terimplementasi dalam shalat berjamaah ini. Aku rasa setanpun bakal lebih kesulitan untuk menggoda cucu Adam dalam hal ini. Jawa Timur yang aku rasa lebih berhaluan hijau tampak betul bagaimana budaya Islam masyarakatnya. Usai shalat, aktivitas dzikir & do’a bersama menjadi bagian yang tak terluputkan dari masyarakat ini.
                Labbaika Allahumma Labbaik, Labbaika laa syariika laka labaik, Innal hamda wa ni’mata laka wal mulk, laa syariika laka labbaika. Subhanallah, aku baru sadar lagi. Aku sekarang di Asrama Haji. Lantunan tersebut berkali-kali dikumandangkan secara serempak oleh seluruh jamaah. Lagi-lagi sesuatu yang dilakukan bersama memang punya getaran yang besar. Hati ini telah tergetar terlena. Bibir ini terhipnotis terperdaya bergerak mengikuti lantunan mengharukan itu. Yaa Allah kami datang Yaa Allah kami datang.
                Seruan Ibrahim AS dari Maqam Ibrahim beberapa ribu tahun yang lalu serasa menjemput langsung ke sanubari ini. Ingatanku langsung tertuju pada Makkah dan Madinah juga Mangkang. Makkah dan Madinah sebagai representatif perjalanan Haji. Lalu Mangkang sebagai representatif di mana orang tuaku berada. Sungguh ingin sekali hati ini menghajikan kedua orang tua dan berhaji. Menyempurnakan rukun Islam dalam rangka ketakwaan kepada Allah yang selalu memberikan nikmat ini. Sowan ingkang griyaniPun Gusti, kedah tentrem ing kaharibaniPun Gusti.
                Kupenuhi panggilan-Mu Yaa Allah, Kupenuhi panggilan-Mu. Kupenuhi panggilan-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu. Sesungguhnya pujian dan kenikmatan adalah milik-Mu, juga kerajaan. Tidak ada sekutu bagi-Mu, Kupenuhi panggilan-Mu.
                Hati luluh tak terkira tak terbendung. Air mata luluh tak terkira namun terbendung. Ingin rasa ini melangkahkan kaki keluar dari keadaan ini. Rasa ini membuncah dalam buaian yang Kuasa, tak kuat menahan sebagaimana cinta kepada-Nya. Aku pada-Mu Yaa Allah.
                Banyak sekali morfologi atau cabang linguistik satuan bentuk bahasa terkecil yang mempunyai makna relatif stabil dan tidak dapat dibagi atas bagian makna yang lebih kecil untuk menggambarkan sebuah cinta. Namun tak banyak morfologi yang bisa kuucapkan untuk menggambarkan cinta ini pada-Nya.
                Surabaya mulai menampakkan harinya, hari tak begitu cerah namun bisa menjadi penghibur bagi yang tak suka panas. Bus kecil bertuliskan Universitas Airlangga mengantar kami peserta LKTI ke kampus Unair di jalan Airlangga.
                Presentation, Meet the Judicator, Study Case by Practicioner. Hal semacam itulah yang kami lalui di hari Selasa. Lalu hari-hari mulai terlewati, dirasa-rasa Surabaya ini tidak tampak seperti yang banyak orang katakan dan apa yang aku ekspektasikan. Panas, iya panas, katanya Surabaya itu panas. Namun beberapa hari aku di Surabaya tak merasakan panasnya Surabaya, bahkan aku sempat kedinginan di pagi yang hujan. Ketidakpastian paradigma Surabaya panas ini membawaku pada kesimpulan tidak ada yang pasti di dunia ini, yang pasti itu Allah. Bahkan kini akupun tergelitik dengan pertanyaan apakah presiden RI SBY dapat memimpin Indonesia lagi dalam beberapa masa jabatan lagi, karena aku rasa tidak ada yang pasti. Undang-undang telah menetapkan masa kepemimpinan sebagai Presiden RI maksimal hanya dua periode, namun siapa yang tahu apa yang terjadi di masa depan. Bisa jadi kejadian-kejadian politik yang sekarang ini merupakan rangkaian untuk membawa pada rezim otoriter layaknya zaman Soeharto dulu. Surabaya aja bisa tidak panas, kenapa SBY tidak bisa jadi pemimpin lagi?
                Skip mengenai politik, kita kembali ke masa sekarang. Recount text telah selesai, tak banyak pelajaran menarik yang dapat anda ambil dari ceritaku ini. Tapi bagiku semua itu menarik, sensasi yang tak pernah kudapatkan dilain waktu. Hidup sungguh menyenangkan dalam frameku. Melihat dari sisi pandang personalku, melewati hari merengkuh keceriaan. Terima kasih Allah, Engkau memang romantis.
Mungkin inilah closing statement dariku kali ini. Setelah banyak kejadian yang aku lalui beberapa waktu yang lalu. I don’t want to miss a thing.




“Ini hidupku dan aku bahagia mengarunginya”
-Alan Ray Farandy-



 
Ini hidupku dan aku bahagia mengarunginya

1 komentar: